SEMANGAT HARI PAHLAWAN DAN KEMANDIRIAN EKONOMI
Dosen FEB Unija Liyanto, S.E., M.M

SEMANGAT HARI PAHLAWAN DAN KEMANDIRIAN EKONOMI

“KAMU dapat bantuan? Alhamdulillah sudah cair dan keluarga saya yang kebetulan memiliki 2 KK sudah dapat semua”, celoteh seorang karyawan pada suatu siang menanggapi pencairan program bantuan sosial (BST) untuk masyarakat yang terdampak Covid-19.

Tahun 1946, Sutan Sjahrir yang menjabat sebagai Perdana Menteri bersama Soekarno-Hatta dan dibantu petani Indonesia memberi bantuan beras pada India yang meskipun ditolak oleh Belanda, namun berhasil diterima oleh India yang didukung Inggris. Bantuan ini dapat dimaknai sebagai langkah diplomatik untuk meraih dukungan internasional.

Eksistensi sesuatu memiliki dua sisi dan setiap sisi memiliki unsurnya sendiri. Demikian juga perihal fenomena bantuan. Pemberi bantuan biasanya dianggap memiliki superioritas sedangkan penerima bantuan dianggap memiliki inferioritas.

Pada masa perjuangan, rakyat Indonesia dengan keterbatasan ekonomi mampu memberikan kontribusi dan menunjukkan  kepedulian pada dunia internasional yang mengindikasikan jiwa kepahlawanan rakyat Indonesia. Jiiwa kepahlawanan ditandai dengan kerelaan berkorban demi bangsa dan negara. Jiwa kepahlawanan ini menjadi sikap para pahlawan bangsa, di mana semangat memberi lebih besar dari pada semangat meminta, seolah mereka berkata “apa yang dapat diberikan kepada bangsa dan bukan apa yang bisa diberikan oleh bangsa”. Kita bisa meneladani rakyat aceh, Sultan Hamengkubuwono IX, Sultan Syarif Kasim II, dan pahlawan lainnya di masa awal kemerdekaan Indonesia dalam hal kerelaan mereka memberi, dan meneladani rakyat Indonesia dalam hal “tidak meminta”. Berapa banyak mereka menyumbang untuk Indonesia, dan rakyat lebih suka mandiri daripada menjadi pegawai dengan bayaran dari pemerintah.

Dengan semangat tersebut juga, Indonesia menjadi negara yang sangat disegani dunia internasional disokong dengan konsep  ekonomi berdiri di atas kaki sendiri (berdikari) oleh Soekarno diarahkan pada perwujudan bangsa yang mandiri, tangguh, serta tidak tergantung dengan bangsa lain. Kemandirian ekonomi sejatinya telah tegas digariskan sebagai cita-cita nasional yang harus direalisasi.

Program bantuan pemerintah (tunai langsung) yang sudah berjalan selama beberapa kurang lebih 15 tahun, dan terus meningkat terutama pada masa pandemi saat ini. Aneka bantuan tersebut dapat berupa keringanan pembayaran listrik, perluasan jangkauan dan kenaikan nominal PKH, Bantuan Pangan non-Tunai (BPNT), Bantuan Sosial Tunai,  Bantuan Sosial Sembako (BSS), dan lain-lain. Di sisi lain, utang luar negeri pemerintah Indonesia juga meningkat secara eksponensial dari tahun ke tahun yang meskipun “mungkin” tidak ada hubungan langsung antara utang luar negeri terhadap bantuan tunai langsung, tetapi tetap saja sulit menafikan asumsi bahwa sumber pembiayaan tersebut dapat berasal dari utang..

Pemberian bantuan tentu membuat penerimanya senang, sekaligus membuatnya lebih inferior terhadap si pemberi, ini sebagai efek dari dua sisi eksistensi. Apabila masyarakat biasa “menerima”, lalu kebiasaan ini menjadi “mental”, maka hal ini menjadi sinyalemen memudarnya semangat kepahlawanan. Apabila pemerintah biasa “memberi meskipun harus berutang” terutama dari asing, secara tidak langsung menjadikan asing superior dari bangsa sendiri dan menciptakan ketergantungan pada asing. Hal ini dapat berimplikasi kehilangan kemandirian ekonomi dan eksistensi sebagai bangsa dipertaruhkan.

Keduanya (memudarnya semangat kepahlawanan dan hilangnya kemandirian ekonomi), apabila bertemu pada kondisi tertentu, dapat mengakibatkan kehilangan hasil dari perjuangan para pahlawan, yaitu “kemerdekaan”. Misalnya, pada kondisi di mana ekonomi negara “porak poranda” dan pada saat yang sama rakyat tidak memiliki semangat kepahlawanan untuk berkorban secara ekonomi, maka tidak ada jalan lain kecuali “menjual sebagian” untuk menyelamatkan yang lebih besar, dan ini tentu tidak ada yang menginginkan.

Sebelum hal itu terjadi,  ada baiknya untuk memahami pesan dalam kitab suci umat Islam “ Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu (kikir) dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya (berlebihan dalam memberi) karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal (QS. Al-Isro:29).(*)