"MON aba' gun koto. Bida so rato se maske kocengnga esemba". (Kalau saya hanya kutu. Beda halnya dengan raja yang meski kucingnya juga dihormati). Itulah salah satu parsemon (majas) yang tidak asing lagi di kalangan masyarakat Madura. Ekslusif Hari Jadi ke-752 Sumenep 2021.
Parsemon tersebut masuk kategori majas ironi karena menyatakan makna yang berbeda atau bertentangan dengan maksud sebenarnya. Majas ironi disebut juga sindiran secara halus.
Gaya bahasa pengungkapan semacam itu sebenarnya sudah digunakan sejak Nusantara terdiri atas kerajaan-kerajaan kecil. Termasuk ketika Arya Wiraraja dinohaken (ditugaskan) ke Madura Timur sebagai adipati.
Di Sumenep, yaitu sebelum runtuhnya Kerajaan Tumapel (sebutan lain Kerajaan Singasari), Arya Wiraraja mengirim Wirondaya ke Gelanggelang (Madiun) untuk mengantarkan surat kepada Jayakatwang.
Isi surat tersebut seperti yang tertulis pada Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Harsa Wijaya, "..Tak ada kerbau, sapi, dan rusa yang bertanduk. Jika mereka sedang menyenggut, baiklah mereka diburu. Pasti tidak berdaya. Satu-satunya harimau yang tinggal adalah harimau guguh, sudah tua renta,.." (Muljana, 2012: 176-177).
Maksud penggalan surat tersebut yaitu sebagai informasi dari Arya Wiraraja kepada Jayakatwang bahwa di Singasari sepi para penggawa kerajaan. Para petingginya sedang melakukan ekspansi hingga ke Swarnabumi (Sumatera).
Kalau Jayakatwang bermaksud menyerang Kerajaan Singasari, yang tersisa hanya mantan patih senior atau disebut dalam surat itu sebagai "harimau ompong", yaitu Mpu Raganata.
Menurut penulis, pengungkapan kiasan dalam berbahasa di suatu kerajaan bukan tanpa alasan. Sebab, kerajaan-kerajaan di Jawadwipa (Pulau Jawa) khususnya sama-sama menjaga kewibawaan. Dengan menggunakan bahasa sastra yang tinggi, tentunya juga dapat membuat orang semakin parjuga (berwibawa).
Parsemon juga digunakan sebagai upaya menjaga perasaan orang lain. Dengan bahasa kiasan, orang yang aparsemon (bermajas) berarti masih ngargai (menghargai) orang yang menjadi objek pembicaraan. Sebab, meski tidak suka atau tidak setuju dengan pihak yang menjadi objek pembicaraan, tidak berarti semua pernyataan harus diungkapkan secara gamblang.
Selain itu, penggunaan parsemon menjadi cara untuk mengetahui sikap dan pendirian orang lain atas suatu persoalan. Ketika ragu atas sikap dan pendirian orang yang menjadi objek pembicaraan, biasanya seseorang mengungkapkannya dengan parsemon. Jenis parsemon yang digunakan, yaitu dengan merendahkan diri atau majas litotes.
Parsemon dalam komunikasi politik saat ini ternyata masih sering digunakan. Jadi, tak salah kalau dalam tulisan ini saya meminjam definisi politik Mark Roeloef yang menyatakan, "Politik is talk" atau kegiatan politik (berpolitik) adalah berbicara. (Nimmo, 2004: 8). (*)