Pilkada dan Pilkades: Polemik pelaksanaan pemilu di masa pandemi
Dosen FISIP Unija Wilda Rasaili, S.IP., MA

Pilkada dan Pilkades: Polemik pelaksanaan pemilu di masa pandemi

Meskipun banyak di kritik dan di khawatirkan, namun pemerintah memutuskan pilkada serentak pada 9 Desember 2020 tetap dilaksanakan. Kondisi pandemi yang terus meningkat serta kebijakan kegiatan sosial yang diperketat menjadikan paradoks pada pelaksanaan pilkada. Pilkada yang diikuti oleh 224 Kabupaten, 37 Kota dan 9 Provinsi seolah hanya urusan kepentingan elit tanpa mempertimbangkan kondisi penyebaran Covid-19 yang semakin menghawatirkan. Kekhawatiran dan kritik netizen tetap saja tak menyurutkan pelaksanaan pilkada. Pilkada tetap dilangsungkan walaupun sempat ditunda selama 3 bulan.

Walaupun demikian, pemerintah memperketat pelaksanaannya dengan memperhatikan protokol kesehatan dalam setiap tahapan pelaksanaan pilkada, seperti pada pendaftaran, pertemuan penyelenggara, pertemuan terbatas tim dan paslon, masa kampanye dan pada tahapan pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara. Pengetatan itu melalui PKPU No 6 tahun 2020, PKPU No 10 tahun 2020, dan PKPU No 13 tahun 2020. Dalam pelaksanaannya pemerintah melalui Bawaslu dan dibantu oleh Polisi dapat melakukan pengawasan ketat, pencegahan dan penindakan pada tahapan yang dianggap mengabaikan protokol kesehatan. Dibanyak tempat tidak sedikit Bawaslu membubarkan pelaksanaan kampanye atau tatap muka paslon dan tim paslon. Di Sumenep, sebagai kabupaten satu-satunya yang melaksanakan pilkada di wilayah Madura, misalnya, panwascam bantang-batang membubarkan kambanya paslon sebanyak 3 (tiga) kali, panwascam kalianget sebanyak 2 (dua) kali yang semuanya karena mengabaikan protokol kesehatan. Kemungkinan banyak juga kecamatan di kabupaten lain yang melakukan pembubaran dan penindakan pelanggaran pemilu.

Dalam situasi yang disorot oleh nitezen, pada akhirnya secara umum pelaksanaan pilkada dapat dijalankan dengan lancar dan tertib sesuai dengan protokol kesehatan. Selain itu, pilkada memang kontestasi politik lokal yang tensinya cukup tinggi tetapi potensi kerumuman hanya terjadi pada masa kampanye. Masa-masa yang lain seperti pemungutan dan penghitungan tidak ada kerumuman masyarakat hanya keluar masuk, apalagi pembagian TPSnya dibatasi 400 DPT. Kondisi ini tentu berbeda dengan politik lokal tingkat desa yang sorotan dan kebijakan pemerintah berbeda.

Pada pelaksanaan politik lokal tingkat desa “pilkades”, netizen banyak menginginkan untuk tetap dilangsungkan, berkaca pada pilkada dan beberapa kegiatan di diesa yang tetap berlangsung. Pemerintah merencanakan pilkades akan dikasanakan pada pertengahan tahun 2021. Kemungkinan itu akan diselenggarakan jika tidak terjadi penundaan berdasarkan pada kondisi pandemi yang belum ada tanda berakhir.

Dalam perspektif politik lokal pelaksanaan pilkada dan pilkades tentu berbeda. Tensi politik yang digambarkan pada loyalitas politik, komitmen politik, komunikasi politik memiliki perbedaan. Masyarakat semakin dekat dengan calon dan isu maka semakin tinggi potensi politiknya. Potensi politik yang tinggi berpengaruh pada intensitas kegiatan politik masyarakat seperti pada pertemuannya, konsolidasinya, partisipasinya maupun upaya pemenangan lainnya. Dalam artian pilkades lebih berpotensi mengundang kerumunan masyarakat dan pengabaian pada protokol kesehatan, selain itu perangkat aturan berupa pengawasan dan pencegahan masih lemah dan dalam rumusannya hanya dilakukan oleh tingkat desa, seperti tata tertib pelaksanaan pilkades sesuai dengan rumusan panitia pilkades, DPD dan tim paslon.

Pilkada dan pilkades sama-sama pemilu lokal yang pada priode ini dilaksanakan dimasa pandemi. Tetapi ada beberapa perbedaan yang mengajak kita untuk lebih bijak menyikapi dan mendorong pemerintah untuk antisipatif dalam merumuskan peraturan. Beberapa hal yang berbeda dari pelaksanaan pilkades setidaknya pada pertama, walaupun sama-sama politik lokal tetapi aksesbilitas dan jangkaunnya lebih mudah karena lokasi dan isu lebih terjangkau, hal itu mendorong pada tingkat partisipasi yang lebih tinggi, kegiatan-kegiatan politik lebih intens dan potensi konflik yang mengakibatkan kerumunan juga lebih tinggi. Kedua, perangkat pengawasan dan penindakan yang lemah. Dalam pilkades tidak ada seperti bawaslu dan keterlibatan kepolisian, sedangkan potensi konfliknya lebih tinggi. Pengawasan dilakukan oleh semua masyarakat dan masing-masing tim untuk mencegah pelanggaran pilkades, tetapi pada aspek pelanggaran protokol tentu lebih meragukan dilaksanakan. Ketiga kesadaran masyarakat tentang penerapan protokol kesehatan masih lemah, terbukti penerapan social distancing dan physical distancing tidak cukup efektif dalam kegiatan sosial. Kegiatan kemasyarakatan yang melibatkan rata-rata 50-100 masih sering berlangsung di masyarakat tanpa memperhatikan protokol Covid-19.

Oleh karena itu, jika pilkades betul-betul ditunda dengan waktu yang tidak ditentukan saya melihatnya pada aspek kesiapan pemerintah dan sosial politik dalam pelaksanaan yang dikhawatirkan menjadi klaster baru penyebaran Covid-19. Maka masyarakat tidak perlu risau secara politik dengan menganggap seolah-oleh perlakuan berbeda ini karena surplus kepentingan elit yang berbeda. Seolah, elit politik tidak banyak meraup keuntungan dari pada pilkades atau pilkada. Sebaliknya jika pilkades tetap dilangsungkan dalam kondisi pandemi yang belum normal maka perangkat protokol harus betul-betul diperhatikan. Perbub tentang pilkades harus tersirat menganut tentang protokol kesehatan dan mengatur pengawasan serta penindakan bagi penyelenggara dan paslon yang mengabaikan peringatan pemerintah. Banyak hal diperhatikan misalnya, pembagian atau pemecahan TPS-TPS, pelarangan pertemuan terbatas yang melibatkan banyak orang, pelarangan perkumpulan di rumah calon atau tim paslon dalam jumlah banyak orang. Selian itu perlu dipertegas lembaga pengawas atau penindakan yang dikhususkan untuk menjaga ketaatan pada protokol Covid-19 agar penerapannya betul-betul maksimal dan efektif.