"COBA kau ingat-ingat kembali
Siapa yang ada di saat kamu butuh
Warganet, bukan mereka
Namunnya kau tak pernah merasa"
Tentu itu bukan lirik lagu yang berjudul "Seharusnya Aku" yang dipopulerkan Elsa Pitaloka di akhir 2020. Tapi tentang ungkapan pikiran dan perasaan sebagai netizen dalam sebuah kritik kepada pemerintah. Adakalanya kritik dibarengi kekecewaan ataupun karena dianggap menyimpang dari ketentuan.
Ketika menjelang pemilihan umum, para calon mencari cara untuk mendapat dukungan dari masyarakat. Salah satu saluran yang dimanfaatkan untuk mendongkrak popularitas yaitu lewat sosial media.
Tim buzzer (kalau saya menyebut tim huru-hara) pun dikerahkan untuk mendukung langkah calon yang diusung dengan isu yang sudah dipersiapkan, bahkan seringkali tim huru-hara tersebut juga menjatuhkan pihak lawan dari isu yang dilontarkan.
Tapi kondisi itu berbeda saat sudah menjabat. Kritik warga yang diungkapkan melalui media sosial "dibekap". Mungkin karena kritik itu dianggap nyelekit atau dapat mengganggu keberlangsungan kekuasaan.
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Nomor 11 2008 menjadi senjata. Siapa saja yang menulis kritik dengan bahasa sarkastis, terutama publik figur, maka siap-siap untuk dilaporkan.
Meski sejatinya tidak ada ukuran yang jelas untuk menafsirkan konsep yang dianggap masuk ranah pidana dalam dunia maya, tapi karena undang-undang itu diantaranya juga untuk membatasi komentar netizen, maka pemberlakukan ketentuan tersebut dianggap perlu.
Konsep yang baru-baru ini pernah dipopulerkan Permadi Arya alias Abu Janda adalah cuitannya terhadap mantan Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai. Terdapat kata evolusi dalam cuitan di twitter-nya yang dianggap bernuansa ujaran kebencian yang berbalut SARA, sehingga Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) melaporkan cuitan Abu Janda ke Bareskrim Polri (cnnindonesia.com, 29/01/2021). Namun, Abu Janda terlihat percaya diri karena makna evolusi dalam KBBI yang dimaksud bukan perubahan genetik, tapi berkembang (pola pikir).
Saya bukan pendukung Abu Janda, tapi kalau bicara soal konsep seringkali seseorang menjadi korban kebiasaan. Hal yang dianggap tidak biasa seolah-olah menyimpang, bahkan salah. Seperti kata "kurang ajar" ketika dua suku kata itu diungkapkan kepada orang lain, banyak yang mempersepsikan ujaran yang tidak pantas. Padahal kalau dipahami "kurang ajar" adalah ungkapan yang berarti kurang belajar.
Di tengah keresahan masyarakat terkait kritik yang berujung pelaporan, Presiden Joko Widodo justru meminta masyarakat untuk lebih aktif dalam menyampaikan kritik dan masukan terhadap kerja-kerja pemerintah. Meski warganet masih khawatir terjerat kasus hukum, tapi setidaknya penyampaian kritik tidak lagi menjadi hal yang menakutkan, apalagi permintaan itu disampaikan langsung orang nomor wahid di negeri ini (kompas.com, 9/2/2021).
Selain itu, ternyata Jokowi juga membuka lampu hijau untuk merevisi pasal karet dalam UU ITE. Sayangnya, pemerintah baru terketuk hatinya untuk mengupayakan perubahan pasal karet undang-undang tersebut setelah bertahun-tahun "memakan korban" .
Jusuf Kalla juga mempertanyakan cara mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi. Sebab, selama ini kritik yang dilayangkan kepada pemerintah seringkali dilaporkan sejumlah pihak kepada polisi, kemudian polisi memanggil orang yang mengkritik. (liputan6.com, 13/2/2021)
Terkait kritik, saya jadi berpikir saat petinggi Kerajaan Singasari mengkritik langkah Kertanegara untuk melakukan ekspansi hingga ke Swarnabumi (Sumatera). Supaya tidak menjadi batu sandungan dalam perluasan Kerajaan Singasari, akhirnya pada tahun 1269 Kertanagara memutasi petinggi Singasari yang tidak setuju dengan kebijakan ekspansi.
Mpu Raganatha yang sebelumnya sebagai patih senior menjadi adhyaksa di Singasari, Tumenggung Wirakerti dimutasi menjadi menteri anghabaya. Termasuk Banyak Wide atau Arya Wiraraja diangkat sebagai adipati di Madura timur (Mansur Hidayat, 2013: 83).
Akhir dari tulisan ini, ternyata kritik yang bisa diterima dengan baik dan mungkin lolos dari jeratan kasus hukum adalah kritik yang menggelitik, yaitu kritik yang membuat orang meresponnya dengan senang. Bangsa kita belum siap untuk menerima kritik yang menukik atau nyelekit. Hal itu dapat dilihat dari zaman sejarah bangsa ini hingga zaman modern seperti sekarang. Wallahuaklam. (*)