Andai Penanganan Penyakit Menggunakan Undang-Undang Majapahit
Zarnuji, S.I.Kom., M.Med.Kom (kiri) Akademisi

Andai Penanganan Penyakit Menggunakan Undang-Undang Majapahit

KAPAN Covid-19 pergi dari nusantara? Pertanyaan itu selalu muncul di benak orang yang mendambakan negeri ini bebas dari corona virus disease 2019 (Covid-19) dan hidup seperti sediakala.

Pemerintah pun melakukan berbagai upaya untuk menangani virus mematikan itu sejak awal kemunculannya, termasuk pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) bagi sebagian wilayah Jawa dan Bali. PPKM menggantikan istilah pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang sebelumnya diberlakukan (detiknews, 7/1/21). Meski angka yang terinfeksi Covid-19 dari waktu ke waktu terus bertambah, tapi kebijakan itulah yang dianggap jalan terbaik daripada tidak berusaha sama sekali.

Kalau Covid-19 pergi, apakah tidak ada pandemi lain? Pertanyaan ini juga muncul seiring dengan ditemukannya virus varian baru. Pemerintah pun sesegera mungkin mengupayakan vaksinasi, meski sudah divaksin ternyata masih saja ditengarai terkena Covid-19, seperti Bupati Sleman Sri Purnomo (detikHealth, 22/1/21).

Kalau tulisan ini menggunakan judul Covid-19, mungkin juga tidak banyak yang membaca. Bukan karena tidak peduli Covid-19, tapi mungkin karena informasi mengenai virus yang pertama kali ditengarai muncul di Wuhan itu sudah basi. Hal itu juga terbukti dalam beberapa bulan terakhir isu Covid-19 tak seheboh saat awal kemunculannya.

Siapa yang bisa terkena Covid-19? Tentu jawabannya mudah, siapa saja bisa terinfeksi tanpa pandang bulu. Karena mudahnya jawaban itu, maka tak heran kalau berbagai penyakit bisa disangka Covid-19. Itulah yang kemudian memunculkan perbedaan pemahaman mengenai virus tersebut di tengah masyarakat.

Banyak orang yang takut berbatuk di muka umum karena khawatir disangka Covid-19, padahal hanya tersedak. Kalau sakit demam, mereka juga tidak bilang kepada orang lain, alasannya karena khawatir pula disangka Covid-19.

Kalau sebelumnya, anak zaman now memakai masker karena takut terkena flek hitam pada muka, tapi kalau sekarang banyak juga yang memakai masker hanya karena khawatir dijauhi teman-temannya yang memakai masker.

Mungkin karena lebih dulu penyakitnya yang tersiar di masyarakat sebelum alat penditeksinya ada. Lebih dulu penyakitnya yang datang daripada obatnya. Sehingga tak pelak kalau banyak orang mengedepankan kecurigaan daripada fakta yang sebenarnya, karena faktanya pun masih diperdebatkan.

Begitu pun oknum petugas kesehatan yang dikeluhkan keluarga pasien soal penanaganan radang paru-paru dan diabetes yang ditengarai di-Covid-kan, sehingga keluarga pasien mengambil paksa jenazah keluarganya di RSI Kalianget (Tribunnews.Com, 25/1/21).

Berdasarkan berita tersebut, saya tidak serta merta membenarkan pihak keluarga yang mengambil paksa jenazah itu, karena harus dibuktikan dulu kalau anggota keluarganya yang meninggal itu tidak terinfeksi Covid-19. Saya juga tidak langsung membenarkan petugas kesehatan, karena meski sudah dilakukan swab, tapi hasilnya perlu dikaji dan dipastikan terlebih dulu khawatir hasilnya berbeda-beda (baca, KOMPAS.com, 3/12/20). Termasuk juga harus dikomunikasikan secara tepat kepada pihak keluarga pasien.

Andai negeri ini menggunakan Undang-Undang Majapahit, tentu para pihak akan lebih waspada dalam menyikapi dan menangani soal pandemi karena ancamannya hukuman mati.  Pada Pasal 269 Bab Duwilatek (Fitnah atau Kebohongan) menyebutkan, "jika ada orang yang mengobati tanpa memiliki pengetahuan tentang obat-obatan, tanpa banyak mengetahui mantra (cara menangani penyakit), tanpa mengetahui soal penyakit, tetapi hanya karena menghendaki hadiah dari pasien, maka orang itu terancam hukuman mati".

Begitupun warga yang menuduh petugas kesehatan bertindak salah, tapi tanpa bukti yang jelas, juga siap-siap menerima hukuman mati. Tuduhan itu dapat masuk kategori penghinaan pengetahuan sesuai Pasal 223 yang dipertegas dengan Pasal 225 Kitab Kutara Manawa (Slamet Muljana, 1967:167). Wallahu a'lam (*)