Sriwijaya Air Jatuh di Air
Zarnuji, S.I.Kom, M.Med.Kom. Akademisi (kiri)

Sriwijaya Air Jatuh di Air

INDONESIA kembali berduka. Itulah penggalan judul berita PikiranRakyatCom dalam menulis kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ 182 jurusan Jakarta-Pontianak, 10 Januari 2021. Media tersebut menyampaikan berita ucapan bela sungkawa yang disampaikan dua negara sahabat, yaitu Turki dan Pakistan.

Kecelakaan yang menelan korban 56 penumpang beserta kru itu mengalahkan isu-isu lainnya. Semua media nasional tampak kompak memberitakan. Seperti terbitan Jawa Pos 11 Januari 2021 misalnya, dari lima berita yang ada di halaman depan, hanya satu berita yang mengulas penerima vaksin perdana Covid-19. Berita vaksin ditempatkan paling bawah halaman.

Sedangkan empat berita lainnya mengupas terkait kecelakaan pesawat Sriwijaya Air. Termasuk juga disertakan delapan foto dan satu grafis untuk mendukung berita kecelakaan pesawat.

Seperti pada berita kecelakaan pesawat sebelum-sebelumnya, pola pemberitaannya pun tidak jauh berbeda, yaitu mulai dari pencarian titik jatuh pesawat, evakuasi korban, tes DNA (deoxyribonucleic acid) keluarga korban, hingga pada pencarian black box pesawat.

Black box berisi dua peranti, yaitu FDR (Flight Data Recorder) atau perekam data penerbangan dan CVR (Cockpit Voice Recorder) atau perekam percakapan pilot. Proses analisa dari kedua peranti itu memerlukan waktu berbulan-bulan karena harus dilakukan secara seksama.

Bagi saya, saat mengetahui kabar pesawat Sriwijaya SJ 182 hilang kontak hingga pada kabar jatuhnya pesawat 9 Januari 2021, sontak dalam benak teringat masa Kerajaan Sriwijaya. Sebab, nama besar kerajaan di barat Jawadwipa (Pulau Jawa) itu mampu menggoreskan tinta sejarah yang gemilang, sehingga banyak nama instansi maupun perusahaan yang mengadopsi dari nama kerajaan tersebut, termasuk nama maskapai penerbangan.

Sriwijaya adalah kerajaan yang didirikan Raja Dapunta Hyang Sri Jayanasa pada abad ke-7 masehi (baca, Boechari, 2012: 565. Baca juga Wikipedia). Sedangkan Sriwijaya Air adalah salah satu maskapai penerbangan di Indonesia yang didirikan Chandra Lie dkk pada 2003.  (baca, liputan6.com, 9/1/21)

Sriwijaya adalah kerajaan yang pernah mengalami masa keemasan sekitar tahun 850 Masehi di bawah kekuasaan Balaputradewa. Sedangkan Sriwijaya Air adalah salah satu maskapai terbesar di Indonesia yang menerbangkan lebih dari 950 ribu penumpang setiap bulannya.

Sriwijaya adalah kerajaan yang bercorak maritim dengan menguasai Selat Malaka dan Selat Sunda. Sedangkan perusahaan penerbangan Sriwijaya Air harus merelakan salah satu pesawatnya (Sriwijaya SJ 182) yang diduga jatuh di wilayah kekuasaan Sriwijaya di timur laut Selat Sunda, tepatnya di perairan Kepulauan Seribu.

Kerajaan Sriwijaya berhasil menancapkan panji kekuasaan hingga kurun waktu empat abad, tapi Sriwijaya Air SJ 182 hanya berlangsung empat menit di udara, kemudian lose contact dan ditengarai nyungsep ke laut (baca, BBC NEWS 9/1/21).

Tentu pada tulisan ini saya tidak bermaksud untuk membandingkan Kerajaan Sriwijaya dengan Sriwijaya Air, tapi lebih pada soal keseriusan para pihak dalam memberikan pelayanan terbaiknya mengenai transportasi udara. Tak hanya profit oriented atau upeti (sebutan pada masa kerajaan) yang menjadi prioritas, tapi keamanan dan kenyamanan penumpang juga diperhatikan.

Andai para penguasa Kerajaan Sriwijaya hanya mengedepankan kepentingan pribadi daripada keberlangsungan kerajaan dan penduduknya, tentu umurnya tak mungkin sampai empat abad. Bisa saja hanya berumur empat tahun, empat hari, empat jam, atau bahkan tidak sampai empat menit.

Semoga peristiwa tersebut menjadi pelajaran bagi kita semua. Akhirnya, semoga amal ibadah para korban pesawat Sriwijaya SJ 182 diterima di sisiNya dan keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan. Amin. (*)