ARYA WIRARAJA salah satu tokoh di eranya yang dikenal piawai dalam memerankan diri sebagai tokoh politik yang hidup di berbagai era penguasa. Oleh yang tidak paham mengenai politik menyalah pahaminya sebagai tokoh yang oponturir. Padahal begitu politik, selalu berada di antara kekuatan yang ada. Politisi cerdik membaca situasi dan cerdas membuat keputusan pada kondisi kekuasaan yang terus berubah dan berganti.
Semangat cendekia bagi tokoh yang berada di pentas kekuasaan menjadi syarat tersendiri. Hal tersebut tentu saja terbentuk tidak secara instan, namun proses panjang dari interaksi dengan orang tua dan guru-guru yang memiliki hikmah dan pengetahuan yang baik. Ditopang oleh pengalaman bergaul dengan para petinggi dalam lingkungan kekuasaan.
Semangat cendekia itu pula yang menjadi salah satu warisan tradisi (legacy) yang baik dari generasi penerus. Bahwa kemampuan mencerna ilmu pengetahuan diejawantahkan dalan kehidupan nyata. Perpaduan antara ilmu pengetahuan dan pengalaman lapangan (frame of reference and field of experience) perlu terus didorong bagi cendekiawan kampus sehingga melahirkan ilmuan yang matang (mature).
Proses tersebut tentu saja tidak bisa instan, ada adaptasi, penciptaan iklim dan lingkungan akademik yang terbuka. Interaksi yang berbasis pada intelektualitas menjadi prasyarat utama lahirnya cendekiawan yang muncul pada berbagai konteks. Pada tahap ini lembaga pendidikan termasuk perguruan tinggi memiliki tantangan tersendiri untuk menjawabnya.
Sebagai kawah candradimuka tempat lahirnya cendekiawan, perguruan tinggi perlu semakin mengukuhkan peran pusat peradaban bangsa. Dari perguruan tinggi lahir cendekiawan yang menjadi politisi, birokrat, tehnokrat dan berbagai profesi yang terus semakin berkembang dalam kehidupan modern.
Kecendekiaan Wiraraja menjadi salah satu spirit penting yang bisa menginspirasi generasi muda untuk turut serta memberi sumbangsih penting dalam peradaban dan proses menjalankan roda kekuasaan baik pada kekuasaan formal (formal power) maupun kekuasaan nonformal. (nonformal power). Jika sudah cendekia, tidak penting lagi menjadi apa (become what) atau sebagai apa (as what), namun lebih mendasar lagi, memberi apa (to give what).
Dengan bahasa lain, semangat kontribusi pada kebaikan dan kemajuan tidak harus dibatasi oleh sebagai apa cendekiawan, namun di luar sebagai apa saja, cendekiawan merupakan apa sebelum dan setelah sebagai apa yang lain. Paling tidak itulah yang dapat dipotret dari cermin besar (the big picture) sejarah bernama Wiraraja. Cermin itu masih terang bisa memantulkan semangat kebaikan pada generasi mendatang, termasuk generasi muda yang dapat melanjutkan semangat kontribusi sebagaimana yang telah ditampilkan oleh Arya Wiraraja. (*)