PUSAT Pemodelan Matematika dan Simulasi Institut Teknologi Bandung (ITB), sebagaimana dikutip oleh Petrus Richard Sianturi dalam opini Tempo (24 Maret 2020) pernah memperkirakan puncak wabah Covid-19 di Indonesia akan terjadi pada April hingga Mei. Itu pun dengan syarat terus diupayakan penanganan yang komprehensif, khususnya untuk mencegah penyebaran yang lebih luas agar jumlah korban yang terinfeksi dapat ditekan. Namun faktanya, penyebaran Covid-19 terus terjadi dengan grafik yang fluktuatif, bahkan hingga saat ini grafik masih cenderung terus meningkat. Belajar pada kasus penyebaran Covid-19 di beberapa negara dengan korban meninggal terbanyak di dunia, sangat penting terus dilakukan langkah-langkah antisipasi, termasuk ketegasan dalam memastikan penyebaran Covid-19 tidak terus bertambah, harus konsisten dilaksanakan.
Penggunaan masker dan social distancing atau jaga jarak aman yang diupayakan sebisa mungkin dapat menekan jumlah orang yang terinfeksi. Dalam sifat virus yang sangat mudah menular, social distancing dan menggunakan masker tidak bisa lagi ditempatkan sebagai imbauan, melainkan kewajiban bagi siapapun. Konsekuensinya adalah perlu segera dikeluarkan kebijakan-kebijakan setingkat Peraturan Pemerintah untuk memastikan bahwa hal ini dapat ditaati oleh semua warga negara. Inilah salah satu persoalan hukum yang cukup krusial untuk ditegakkan menyikapi penyebaran Covid-19 yang terus meningkat.
Permintaan agar masyarakat menggunakan masker dan melakukan social distancing saat ini masih terbatas imbauan dan dirasa masih tidak cukup dan tidak tegas. Nyatanya, banyak orang masih mengabaikan dengan sengaja himbauan ini. Pusat-pusat perbelanjaan dan beberapa tempat hiburan bahkan masih dijumpai terlihat ramai pada saat korban wabah Covid-19 terus bertambah. Masih banyak pihak yang melakukan kegiatan yang menyebabkan kerumunan. Siswa dan mahasiswa yang diharapkan belajar dari rumah, justru juga masih ditemukan bermain di cafe dan di luaran.
Untuk itu, kewajiban masyarakat untuk menggunakan masker dan melakukan social distancing harus dimuat dalam sebuah peraturan perundang-undangan, yang jika diabaikan akan menimbulkan konsekuensi berupa sanksi. Persoalan ini memang akan berkaitan dengan pembatasan hak individu. Oleh karena itu, berdasarkan konstitusi, pembatasan hak harus didasari Undang-Undang. Presiden mungkin dapat mempertimbangkan untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang upaya-upaya penanganan wabah Covid-19, yang salah satunya mengatur bahwa penggunaan masker dan social distancing adalah kewajiban. Pembatasan hak individu ini tentu sah karena kondisi sekarang adalah kondisi genting yang mengancam kesehatan publik.
Persoalan hukum lainnya berkaitan dengan keseimbangan antara hak-hak pekerja dan kewajiban kerja mereka. Pandemi ini menyerang khususnya sektor-sektor ekonomi. Dunia usaha mengalami kerugian yang tidak sedikit karena banyak usaha harus menghentikan produksi. Yang jelas, kesehatan pekerja tetap harus diutamakan sebagai kewajiban pelaku usaha yang telah diatur dalam undang-undang.
Untuk itu pemerintah harus memastikan semua pelaku usaha, khususnya di daerah-daerah paling terancam, memberikan kebijakan internalnya yang lebih mendahulukan kesehatan pekerja daripada perhitungan untung rugi usaha. Dalam undang-undang ketenagakerjaan, pemerintah adalah pihak yang menjadi penengah antara pekerja dan pelaku usaha agar pemenuhan hak dan kewajiban diantara para pihak dapat seimbang.
Dalam situasi sulit seperti ini, pemerintah harus memastikan pelaku usaha tidak mengabaikan kewajiban mereka untuk memberikan upah yang menjadi hak pekerja, termasuk pekerja dengan upah harian. Namun, bagi usaha yang tetap mengharuskan pekerja masuk, diperlukan kebijakan mengenai waktu kerja, kesehatan lingkungan kerja, dan pola interaksi yang ketat antar pekerja untuk menghindari penularan Covid-19.
Selain itu, ada persoalan penegakan hukum kepada penyebar berita, data atau informasi bohong terkait Covid-19 dan setiap upaya penanganannya. Sejak kasus Covid-19 pertama kali terjadi di Wuhan, hoaks menyebar di Indonesia dengan segala macam bentuk, terutama penyebaran ketakutan. Sampai hari ini, masih banyak hoaks yang menyebar dan membuat simpang siur data dan jumlah korban serta informasi tentang fasilitas kesehatan yang menjadi rujukan, juga isu-isu pengobatan alternatif yang mampu menghancurkan Covid-19.
Kerugian yang diakibatkan oleh berita bohong atau hoaks ini akan menjadi jauh lebih berbahaya ketimbang Covid-19 itu sendiri jika diabaikan. Sudah barang tentu di tengah situasi sulit seperti sekarang, ada saja pihak-pihak yang ingin membuat situasi semakin meresahkan dan mengambil keuntungan darinya. Dalam logika hukum, siapa saja subjek hukum yang sengaja melanggar hukum di dalam keadaan yang memaksa, termasuk dalam bencana non alam seperti wabah Covid 19, harus dihukum lebih tegas. Penyebaran berita bohong/hoaks juga akan mengaburkan setiap kebenaran data dan informasi yang sesungguhnya. Jika diabaikan, penanganan wabah Covid-19 tidak akan berjalan dengan lancar.
Bobot ketiga persoalan hukum di atas merupakan sebagian kecil dari persoalan pandemi Covid 19. Namun jika diabaikan, dapat dipastikan bahwa segala upaya penanganan penyebaran Covid-19 yang sedang kita upayakan bersama sekarang tidak akan berjalan efektif. Telatnya pencegahan pada tahap awal harus dibayar dengan ketegasan sikap pada saat-saat yang semakin genting seperti sekarang. (*)