Menunaikan Janji Memberi Bukti Visi Misi Kepala Daerah Terpilih
Drs. Hadi Soetarto, M.Si. (Dosen dan Ketua Pusat Kajian Kebijakan Publik FISIP Unija)

Menunaikan Janji Memberi Bukti Visi Misi Kepala Daerah Terpilih

HINGAR bingar Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) serentak Tahun 2020 telah usai ditandai dengan pelantikan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih secara nasional hari Jumat 26 Februari 2021 yang lalu. Kini saatnya tidak lagi dukung mendukung, tapi tetap bersaudara dalam satu negeri yang sama. Pilkada adalah bagian dari demokrasi dan mekanisme politik untuk tata kelola pemerintahan yang demokratis dengan indikatornya masyarakat demokrasi yang inklusif dengan partisipasi politik yang terbuka untuk semua kalangan termasuk di dalamnya marginal dan minoritas. Secara teoritis pelaksanaan pilkada adalah sebuah momentum peletakan dasar bagi fondasi kedaulatan rakyat dan sistem politik serta demokrasi di aras lokal.

Esensi demokrasi pada tingkat lokal didasarkan pada prinsip local choice dan local voice. Institusional set up-nya adalah saatnya suara rakyat ter-artikulasi secara langsung dengan berkesempatan memilih sesuai kehendaknya agar kekuasaan lahir dan terbentuk dari bawah dengan cara dipilih secara langsung. Memahami demokrasi pilkada tidak bisa dilihat secara parsial, namun perlu seimbang antara substansi dan prosedurnya, karena pilkada tidak sekedar prosesi atau ritus politik tetapi menjadi medan pertarungan antar kekuatan politik di masyarakat. Kaitan antara proses politik pilkada dengan ragam pilihan kebijakan publik (policy choice) terletak pada janji politik (Visi dan Misi) kandidat terpilih dalam dokumen perencanaan daerah. Dokumen inilah pada gilirannya menjadi bahan rujukan untuk penyusunan rencana pembangunan daerah dan alokasi anggarannya (RPJMD, RKPD, dan APBD). Dalam banyak kasus kendala yang terjadi ada disparitas antara janji politik semasa debat kandidat dengan realisasi turunan berbagai dokumen daerah, karena janji politik tersebut memiliki derajat relevansi yang tinggi dengan produk kebijakan publik di daerah. Jargon yang diusung pasti menawarkan kebaikan dan serasa nikmat untuk didengarkan. Cita- cita yang dirumuskan dalam visi misi hendaknya bukan sekedar utopia, tapi realistis sesuai dengan kemampuan untuk diwujudkan dan diimplementasikan sehingga publik merasakan langsung manfaat keterpilihannya sebagai Kepala Daerah. Terlepas dari latar belakang seorang Kepala Daerah berasal dari birokrat, pengusaha atau politisi yang penting memiliki integritas untuk menepati visi misi sebagai janji politik, sebab ingkar janji dalam politik bukan fenomena khas Indonesia.

Dengan demikian secara moral janji adalah yang seharusnya sungguh-sungguh dipegang untuk direalisasikan menjadi kenyataan. Mana kala janji diabaikan akibatnya demokrasi perwakilan mengalami disconnect electoral, yaitu adanya keterputusan relasi antara wakil dan yang diwakilinya. Dalam demokrasi elektoral membuka peluang bagi setiap warga negara untuk menjadi pemimpin publik. Esensinya seorang pemimpin adalah kesediaan dan kerelaan untuk mewakafkan diri dan jiwanya dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Untuk mewujudkannya diperlukan pemimpin yang mumpuni dan berintegritas sehingga mampu memperbaiki sistem dan budaya secara bersamaan. Memperbaiki sistem tanpa perbaikan budaya kerja membuat orang bersiasat, budaya kerja tanpa dukungan sistem yang baik sulit terwujud sinergi kolaboratif. Begitu banyak teori kepemimpinan publik yang bisa dipelajari, tapi yang terpenting adalah konkritisasi pelaksanaan. Konsep yang tersusun dengan baik dan rapi dalam visi misi tidak menjamin dapat dilaksanakan tanpa political will dari pemimpin, sebab kemauan yang kuat akan menemukan banyak jalan, sebaliknya ketidakmauan akan mencari berbagai alasan. Bagi pemimpin adalah suluh kehidupan dari setiap harapan masyarakat untuk memperoleh kebahagiaan. Oleh karena itu yang harus dilakukan para pemimpin agar dapat membawa perubahan diantaranya piawai mencari peluang, cerdas dalam membangun daerah dan jago dalam mengembangkan potensi ekonomi dengan meng-integrasikan ilmu pembangunan daerah dalam penerapan prinsip-prinsip pemasaran secara tepat dengan meng-adjust kebijakan pemasaran sektor publik, yaitu: (1) Mampu menjual apa yang menjadi andalan daerahnya; (2) Mampu menjual idenya, gagasan, programnya, dan strateginya dalam membangun daerahnya; (3) Mengubah perilaku yang merugikan ke arah yang menguntungkan anggota masyarakat.

Sebagai bentuk komitmen, konsistensi dan integritasnya kandidat Kepala Daerah pemenang pilkada menempatkan dirinya sebagai core sistem pemerintahan baru memiliki sebongkah impian indah, segudang rencana, setumpuk ide cemerlang dan berjibaku dengan waktu harapannya janji-janji politik akan berubah menjadi kebijakan publik. Tanpa mencari-cari alasan menjadi seorang apatis, perubahan menjadi hal yang complicated dan sulit. Argumentasi ini lahir bukan tanpa alasan, walau komitmen perubahan hebat gaungnya perubahan yang terjadi akan berlangsung pada permukaan pranata sosialnya bukan kedalaman mental, moral dan perilakunya. Dengan menyandarkan pada The saliency theory yaitu kandidat kepala daerah pemenang pilkada merupakan tulang punggung pemerintahan pasca pilkada. Oleh karena itu sesudah pilkada ranah politik lokal dengan komando Kepala Daerah terpilih lekas bersalin menjadi arena pemerintahan yang bekerja memasuki semacam black box yakni visi, misi dan program termasuk tidak melupakan masalah alokasi dan distribusi sumber daya publik agar berkonversi ke dalam aksi lapangan sebagai momen pembuktian segala janji dilunasi atau sebaliknya hanya tinggal janji, manakala pembuktian diabaikan tidak menutup kemungkinan akan mendegradasi kepercayaan publik terhadap demokrasi elektoral.

Guna menelaah realitas dari janji politik dimaksud, penulis menawarkan selain memanfaatkan The saliency theory juga merujuk pada pendapat dari Klingemann (1999) dalam Fadillah Putra (2005): 177-178 sebagai analisis untuk melihat kaitan antara janji politik dengan kebijakan publik ada 3 bentuk, yaitu model agenda, alat ini digunakan dengan cara menguji efek kemenonjolan berbagai isu dalam janji-janji politik kandidat terhadap prioritas alokasi anggaran dan kebijakan pada pemerintahan pasca pilkada. Kemudian, model mandat, alat ini digunakan dengan cara mengamati pengaruh tambahan dari janji- janji politik terhadap produk kebijakan alokasi anggaran dan model ideologi, yang ditempuh dengan melihat relevansi antara janji politik yang disampaikan kandidat dengan jalinan ideologi yang selama ini diyakini dalam jangka waktu panjang.

Memang dalam praktek antara janji politik dengan kebijakan publik persoalannya tidak sesederhana yang dibayangkan, karena ada sekian banyak variabel yang menyebabkan kesan garis lurus dari The saliency theory dan ke-3 model tersebut namun idealnya tidak terlalu jauh menyimpang dari realitasnya. Melihat kompleksitas permasalahan yang dihadapi salah satu faktor penting dalam menentukan keberhasilan daerah adalah leadership kepala daerah yang diukur dari tiga hal, yaitu integritasnya (bebas KKN) inovasinya berupa terobosan yang akan dilakukan serta kemampuan managerial yang baik untuk mengelola birokrat memiliki integritas tinggi.

Untuk mencapai posisi tersebut, jadilah pemimpin yang amanah dan terpercaya, tunaikan apa yang sudah dijanjikan, karena itulah jalan untuk memperoleh kemuliaan di hadapan masyarakat dan Allah SWT. (*)