KATA “membudaya” memberikan pemahaman bahwa korupsi telah masuk ke dalam struktur kesadaran masyarakat. Perilaku korupsi seolah tidak lagi menjadi persoalan moral, melainkan sebuah keniscayaan. Korupsi yang “membudaya” akhirnya merasuki seluruh dimensi kehidupan sosial, politik, hukum, pendidikan, bahkan agama di negeri ini. Rangkaian ini membuat sulitnya agenda pemberantasan korupsi di Indonesia.
Memperingati Hari Anti Korupsi Internasional pada tahun 2012 lalu, penangkapan Ketua DPRD Bangkalan Fuad Amin Imron menjadi kado istimewa agenda pemberantasan korupsi di Indonesia. Fuad Amin, yang semula disebut “Tuhan” kedua oleh masyarakat Madura, atau orang kuat di daerah (local strong man), dengan menggunakan basis-basis kekuatan politik yang dimiliki, mengendalikan struktur kekuasaan, ia nyaris bebas dari jeratan hukum. Beberapa kasus hukum yang pernah mendera mantan Bupati Bangkalan ini tak pernah tuntas. Sangat wajar masyarakat Madura menyebutnya sebagai “Tuhan” kedua di Madura.
Fuad Amin hanyalah satu dari sekian banyak kasus korupsi yang melibatkan peran keluarga. Misalnya, mantan Gubernur Banten Atut Chosiyah, melibatkan adiknya Chaeri Wardana dalam kasus penyuapan Akil Muchtar pada sengketa pilkada Lebak. Bupati Karawang Ade Swara melibatkan istrinya Nurlatifah dalam kasus ijin pembangunan di Kabupaten Karawang. Wali Kota Palembang Romi Herton juga melibatkan istrinya dalam kasus penyuapan kepada Akil Muchtar dan banyak kasus lainnya yang melibatkan keluarga
Habitus korupsi yang melibatkan peran keluarga membenarkan pernyataan Bung Hatta (Presiden RI ke-II), bahwa korupsi sudah membudaya pada masyarakat Indonesia. Artinya, korupsi tidak hanya dirancang di ruang-ruang perkantoran, tetapi sudah masuk lingkungan keluarga. Kejahatan korupsi tidak hanya dilakukan oleh kaum laki-laki (bapak), tetapi menyeret kaum perempuan (ibu). Sehingga keluarga yang seharusnya menjadi basis moral bagi kehidupan bangsa, menjadi tempat transaksi politik untuk memuluskan kejahatan bersama.
Jika orang tua sudah bersekongkol untuk menyusun perampokan uang negara, pertanyaannya, nilai moral apa yang diajarkan kepada anak-anak mereka? Jika peran keluarga sebagai benteng moral sudah kehilangan pengaruhnya, bagaimana anak-anak mendapatkan teladan bagi kehidupan yang lebih beradab? Karena itu, strategi pemberantasan korupsi di Indonesia perlu melibatkan peran keluarga sebagai institusi paling dasar dalam membangun generasi yang anti korupsi.
Korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinarycrime) kini tidak hanya terjadi dikalangan elit penguasa dan partai politik. Tetapi sudah menyebar hingga lingkup keluarga. Persoalan ini bukan main, mengingat keluarga memiliki arti penting bagi kehidupan bangsa dan negara. Jika sistem keluarga itu rusak, maka buruklah harapan menuju masa depan bangsa yang lebih cerah. Keluarga sebagai elemen vital masyarakat menjadi penting dalam agenda pemberantasan korupsi. Karena itu, pemberantasan korupsi haruslah dimulai dengan menjadikan keluarga sebagai benteng utama membangun budaya anti korupsi. Hal ini haruslah dimulai oleh setiap orang tua, dengan cara mengajarkan kejujuran, tidak mengambil barang yang bukan miliknya kepada anaknya sedini mungkin.
Sebagaimana yang disebutkan Bung Hatta, bahwa korupsi telah membudaya di Indonesia, bisa jadi dimulai dari sistem keluarga yang tidak lagi menghargai pentingnya pendidikan anti-korupsi di lingkungan keluarga. Begitu anak tumbuh dewasa, ia tidak lagi asing dengan budaya korupsi, bahkan dianggap sebagai sebuah keharusan dalam hidup. Di sinilah perlunya keluarga sebagai benteng pertahanan moral dalam memberantas korupsi.
Keluarga merupakan basis persemaian yang sangat strategis untuk mengembangkan budaya anti-korupsi. Keluarga merupakan ruang publik pertama yang dijumpai seorang anak untuk memahami tentang baik buruknya segala sesuatu. Keluarga menjadi basis bertumpuhnya nilai-nilai demokrasi secara mendasar. Memahamkan demokrasi di dalam sistem keluarga, tentu tidak dapat dilakukan dengan cara indoktrinisasi atau dipaksa kepada setiap anak. Tetapi yang perlu dilakukan adalah proses pengalaman yang terinternalisasi dalam setiap komponen keluarga. Karena itu, saling terbuka, jujur, berdiksusi, dan dialog antar kelurga menjadi penting dilakukan.
Selain itu, untuk mengembangkan budaya anti-korupsi dalam lingkungan keluarga juga dapat dilakukan dengan mengajak tetangga untuk berdialog perihal kebijakan pemerintahan pada level yang paling bawah. Hal ini untuk mendorong partisipasi dan kesadaran warga negara terhadap korupsi yang makin menjarah setiap link kehidupan masyarakat.
Kebudayaan, sebagaimana yang didefinisikan oleh antropolog Koentjaraningrat (1971), terdiri atas tiga komponen: kepercayaan (kognisi), prilaku, dan artefak (benda-benda) yang diyakini dan dilaksanakan di dalam masyarakat tertentu. Dan, korupsi masuk di dalam ketiga kategori itu. Korupsi tidak lagi dianggap sebagai perbuatan menyimpang. Bahkan, hasil korupsi dibagi-bagi kepada setiap lapisan keluarga sebagai bentuk rasa syukur. Artefak dari budaya korupsi tampak dari koruptor yang suka memamerkan rumah mewah, mobil baru, dan segenap matrealisme seperti kecantikan, lambang jabatan, dan gadis primadona yang kini menjadi ukuran sukses seseorang.
Karena habitus korupsi yang makin “membudaya”, maka perlawanan untuk memberantas korupsi haruslah dengan perlawanan budaya pula, budaya anti-korupsi. Korupsi di Indonesia sungguh telah menyatu dengan sistem kehidupan masyarakat, karena itu proses pemberantasannya tidak cukup dengan pendekatan hukum dan persoalan struktural, melainkan persoalan kebudayaan. Karena itu, korupsi harus dilawan dengan strategi budaya berbasis keluarga.(*)