MENJELANG usia 13 tahun UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) mulai berlaku tanggal 21 April 2008 dengan perubahannya UU Nomor 19 Tahun 2016, sebagai korban pertama UU ITE adalah Prita Mulyasari ketika mengirim email berisi kritikan atas pelayanan buruk di Rumah Sakit OMNI Internasional. Di tahun 2021 masih akan teruskah banyak memproduksi keluhan, kritik serta masukan? Kemungkinannya terus berlanjut, melihat fenomena sosial politik yang muncul akhir-akhir ini tidak sehat dan dapat merusak sendi-sendi kehidupan tiada lain munculnya sebuah perilaku yang didasarkan pada fitnah, kebohongan dan fiksi daripada fakta dan kebenaran.
Kompas.com 17 Februari 2021 mewartakan masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik kepada pemerintah saat Presiden Jokowi memberi sambutan pada Laporan Akhir Tahun Ombudsman RI Senin, 8 Februari 2021 dan sebelumnya di Hari Pers Nasional juga menyinggung soal ruang diskusi dan kritik.
Banyak pihak yang mengakui situasi pasca pernyataan tersebut memberi ruang publik keleluasaan mengekspresikan dan mengaktualisasi diri dimana masyarakat bebas berbicara dan pers bebas berwarta. Namun di sisi lain akan melahirkan pesimisme bahkan kecemasan nasib aktivis dan para pihak yang berseberangan dengan Pemerintah akan berhadapan dengan polisi akibat mengkritik dengan label melanggar UU ITE.
Pandangan yang tampaknya pesimis dan kurang populer ini, efektif menciptakan opini didasarkan penilaian cara berpikir pihaknya sendiri. Logika berpikir tersebut merupakan spirit yang nyaris jadi kebenaran universal hampir tak ada daya tolak atau daya koreksinya. Memang terlalu singkat waktunya menilai berhasil gagalnya ruang kritik sebagai jargon humanis menciptakan rasa kesamaan dan kebersamaan penguasa dan yang dikuasainya.
Fenomena itu dalam pandangan penulis dihadapkan pada kesulitan titik temu memperoleh informasi yang memadai siapa yang menjadi pelaku program Pemerintah, karena yang menangani bukan satu lembaga, sehingga kesulitan yang akan diajak bermusyawarah. Karena peristiwa publik bersifat kompleks, Pemerintah kata samar yang tak jelas person-nya. Dengan meng-generalisasi berprasangka pejabat publik kadang menyembunyikan kebijakan dari jangkauan warganya. Situasi ini menyiratkan mudahnya melalaikan ketentuan konstitusi. Dari pelajaran inilah menyebabkan masyarakat diam dan menerimanya dengan kepasrahan mungkin telah frustasi bahkan keputusasaan. Hal ini kerap terjadi keluhan tak menghasilkan renungan, kritik tak membawa perbaikan, masukan terhenti di tengah jalan, dan harapan tinggal jadi kenangan. Kondisi ini menafikan realita faktual sebagai realitas yang sesungguhnya, karena di Republik ini masih ada elemen bangsa yang baik dan terjaga moralitasnya.
Agar fenomena tersebut tidak berjalan tanpa arah dan menimbulkan pertentangan, saran kririk sebagai wahana komunikasi pemerintah dan masyarakat merupakan salah satu instrumen public trust (kepercayaan publik). Keterlibatan publik ini secara positif sebagai satu modal mengembalikan core guna memenuhi kebutuhan dan hak dasar masyarakat mendorong terbukanya pandangan memberi penjelasan dan menyodorkan alternatif yang dimungkinkan diimplementasikan karena semua pihak memiliki sense of belonging yang sama. Pola ini memunculkan hubungan sinergis antara pemerintah dan masyarakat. Disinilah pentingnya saran, kritik sebagai ruang publik yang bertindak sebagai mediator kedua pihak.
Pandangan hidup sebagian bangsa yang menyukai harmoni ketimbang konflik, seyogyanya keluhan, kritik, dan masukan dibuat dengan bahasa yang sopan dan halus serta demi kemaslahatan semua perbedaan mesti dihadapkan dalam posisi yang egaliter dan setara. Ini mungkin tidak mudah diterima, sementara kemampuan menerima yang akan menentukan seberapa jauh kedewasaan sebuah bangsa. Manakala saran, kritik dan masukan dituturkan sebagaimana pandangan hidup sebagian bangsa tersebut, kecil kemungkinannya berhadapan dengan jerat hukum.
Abad komunikasi dan informasi mengajarkan bahwa aparatur pemerintah belajar dengan rendah hati, untuk bekerja sama dengan masyarakat serta menghilangkan filosofi top- down, Sabda Pandita Ratu dan gaya-gaya feodal atau paternalistik serta ada jaminan keamanan atas kritik. Sedangkan masyarakat mesti berdaya karena ternyata masyarakat menjadi kunci dari apa sebenarnya yang harus dilakukan. Tapi kesadaran itu haruslah dimulai dari masyarakat sendiri.
Persoalannya, bisakah pemerintah dan masyarakat bekerjasama? Hanya komitmenlah yang bisa menjawabnya. (Penulis Pengajar Fisip/ Mantan Dekan FIA/Fisip 2006-2014) (*)