MERDEKA BELAJAR DI BANGKU MADURA
Dosen FKIP Unija Dr. Habibi, S.Si, M.Pd

MERDEKA BELAJAR DI BANGKU MADURA

LANGIT malam itu cukup bersih, setelah beberapa jam disapu hujan. Sumenep menghidangkan keramaian. Jalan-jalan dipenuhi lampu, baik dari deretan rumah, pertokoan, rombong-rombong kaki lima hingga kendaraan yang lewat. Sejenak saya lupa kalau saat itu masih pandemi.Janji dengan salah seorang alumni prodi pendidikan IPA universitas wiraraja, yaitu tempat dimana saya kembali mengabdi setelah menyelesaikan studi, membawa saya ke tempat tersebut, sebuah cafe di pinggiran kawasan Pandian. Saya duduk di sebuah kursi unik terbuat dari kayu-kayu sisa. Kopi tubruk susu yang harum menemani obrolan kami.Ia adalah pemuda yang penuh semangat. Selain mengajar di sebuah lembaga yang masih rintisan, ia sendiri merintis sebuah kelompok swadaya yang bergerak di bidang bantuan pengajaran untuk anak. Bantuan di sini maksudnya membantu anak-anak yang kurang memahami pelajaran sekolah di pusat-pusat belajar luar sekolah. Para pendirinya adalah alumni prodi pendidikan IPA dari beberapa kota yang kembali pulang ke sumenep. Aktivitas mereka sederhana, namun bagi saya semangat dan cita-cita mereka luar biasa. Nama kelompok swadaya tersebut adalah Bangku Madura.

Tentu saja saya merasa bangga pada mahasiswa tersebut. Di tengah tuntutan untuk berkarir sebagai guru dan memperoleh penghasilan yang layak, ia masih sempat memikirkan masyarakat dan berupaya menyumbangkan sesuatu sesuai kemampuannya. Ia dan teman-temannya adalah gambaran paling riil dari orang-orang merdeka, yang lahir dari model pendidikan sebelum Pak Nadiem mencanangkan program merdeka belajar. Pak Nadiem dengan gebrakan program merdeka belajar berniat untuk melepaskan institusi pendidikan kita dari belenggu-belenggu membuat guru dan siswa tidak merdeka. Seolah beliau ingin menunjukkan kesalahan Ivan Illich yang menyatakan bahwa sekolahlah yang membunuh kemerdekaan anak. Belenggu yang ingin beliau lepas antara lain Ujian Nasional (UN), administrasi yang rumit (misal RPP yang penyusunannya menguras banyak energi sehingga guru sudah habis semangat ketika mengimplementasikannya di kelas) serta penilaian yang autentik untuk pembangunan karakter (melalui variasi penilaian autentik serta survey karakter). Beliau ingin guru dan siswa memiliki pilihan-pilihan individual sebagai wujud dari ekspresi kemerdekaan diri.

Cita-cita tersebut agak terhambat karena pandemi covid19 yang membuat ritme pendidikan seperti mati suri. Pembelajaran berlangsung di dunia tak nyata, yang membuat beberapa pakar (misal Prof Rohmat Wahab dari UNY dan Prof Chairil Anwar dari UGM) menyatakan kekhawatirannya bahwa kita akan "kehilangan" generasi yang terguncang pandemi. Yang sangat jelas tampak adalah masih banyak kawasan yang buruk akses internetnya, sehingga tidak mungkin mereka belajar di tengah kebijakan pembelajaran daring. Sekarang kita ambil kemungkinan yang terbaik, yaitu pandemi segera berlalu dan pembelajaran kembali normal. Lantas apakah program merdeka belajar akan dapat mencapai tujuannya? Apakah program ini dapat menghasilkan lulusan dengan karakter merdeka seperti alumni yang saya ceritakan di atas?

Saya pikir kemerdekaan harus dimulai dari sosialisasi pemikiran agar kesadaran tumbuh secara alami dari dalam diri para pendidik. Baru kemudian dilanjutkan dengan program teknis. Jika sejak awal program merdeka belajar dijalankan dengan paksaan, yang artinya justru berkebalikan dengan filosofi merdeka itu sendiri, maka saya khawatir program ini tidak akan mencapai apa yang diharapkan. Dan kemudian akan diganti seiring dengan pergantian kepemimpinan. Saya teringat pada sejarah bangsa kita. Setelah merdeka dari penjajahan bangsa asing justru kita banyak bertikai dan peperangan demi peperangan berlangsung antar golongan bangsa sendiri. Ki Hadjar Dewantara mengatakan bahwa sesungguhnya belenggu penjajahan terbesar itu bukanlah bangsa barat, bukan dari luar, tetapi belenggu yang muncul dari dalam diri kita sendiri. Belenggu itu adalah murka diri dan murka materi.(*)